Copyright © Belasah Jelah
Design by Dzignine
support by T3A
November 23, 2013

Ekonomi: Kapitalisme, Sosialisme dan Syariah.

Tulisan ini hanyalah ulasan dari pembacaan terhad penulis yang menuntut ilmu dalam bidang perubatan.

Demo buruh baru - baru ini menghangat kembali. Tuntutan - tuntutan para buruh agar gajinya dinaikkan bergema di banyak kota dan kabupaten. Kos sara hidup yang semakin tinggi serta faktor pemilu yang semakin dekat membuat demo ini kembali buat kesekian kalinya.



Banyak negara di dunia sekarang mengaplikasikan sistem ekonomi kapitalisme. Dampaknya begitu terasa sekarang. Dalam ekonomi kapitalisme ada menyatakan satu teori yang berkaitan dengan upah buruh. The iron law of wages. Hukum besi upah. Sekuat mana besi dihentam, bengkoknya sedikit sahaja. Upah buruh tidak boleh diubah dalam jumlah yang besar.

Jika didemo untuk dinaikkan upah buruh, maka para pemilik modal, pengusaha akan mengatakan tingkat pengangguran tinggi. Banyak yang di luar mahukan pekerjaan. Mereka bersedia dibayar dengan apa yang ada sekarang, bahkan lebih rendah juga masih sanggup. Kalau demo semakin keras, para pemodal tinggal mempersilakan mereka yang berdemo ini keluar, meninggalkan kerja.

Kenapa pula tidak boleh diturunkan? Para pemodal harus memastikan pekerjanya secara fizikal dapat bertahan hidup dalam satu bulan. Mempertahankan produktiviti. Kalau turun? Produktiviti menurun, perusahaan rugi. Jadi, upah buruh harus pada batas minimal, untuk para buruh bertahan hidup.

Inilah kapitalisme, individu diperbolehkan menguasai kepemilikan seluas - luasnya selama memiliki modal yang cukup. Negara dibatas kepemilikannya, kalau boleh dihilangkan melalui privatisasi. Asal ada modal, silakan mahu membeli apa saja. Gunung, pulau, lombong minyak, gas, emas, perak dan lebih besar dari itu.



Berbeza dengan sistem sosialis. Mereka menilai the iron law of wages sangat menindas. Para buruh bekerja keras namun mendapat upah yang cukup -cukup. Pada masa yang sama, para pemilik modal tidak perlu bekerja keras, tetapi menikmati hasil keuntungan yang melimpah.

Jalan keluarnya, menghapuskan kepemilikan individu. Alat - alat produksi tidak boleh dimiliki. Negara menjadi pemilik modal, dan rakyat harus bersama - sama bekerja, menjadi buruh. Kepemilikan invididu atau swasta dihapuskan melalui nasionalisasi. Harapannya, wujud masyarakat yang sama rata sama rasa.

Realitinya, itu hanya manis buat sementara waktu. Harapan agar sama - sama berusaha mengakibatkan motivasi bekerja menurun drastik. Tidak ada produktiviti dan kreativiti.

Ekonomi syariah mengambil jalan tengah dalam dua kutub ekstrim ini. Kepemilikan individu atau swasta diperbolehkan, tetapi tidak sebebasnya. Masyarakat boleh memiliki alat - alat produksi dalam batas tertentu. Sumber daya alam seperti lombong yang mengandungi minyak, emas dan perak tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta. Ia dikategorikan sebagai kepemilikan umum, dimiliki oleh masyarakat, hasilnya dirasakan oleh rakyat.

Pada masa yang sama, individu atau swasta boleh memiliki perusahaan untuk menggerakkan sektor ekonomi. Tentu saja dalam ruang lingkup yang dibenarkan syariah. Dengan ini, produktiviti dan kreativiti tidak merosot. Pengembangan kepemilikan individu akan memupuk sikap usahawan dalam diri melalui perusahaan atau syirkah yang ditawarkan oleh ekonomi syariah, seperti inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadah. Semua ini membuka kemungkinan untuk wujudnya pelbagai perusahaan - perusahaan baru.

Bagaimana dengan upah? Pandangan syariah adalah kompensasi antara pemberi kerja dan pekerja yang nilainya ditentukan oleh kesepakatan antara keduanya.

Hal kepemilikan dan pengupahan ini merupakan salah satu dari sekian banyak ruang lingkup ekonomi syariah. Sama juga halnya dengan ekonomi bebas riba, adanya zakat, infak dan sedekah serta akhlak yang turut serta didalamnya.

*Dipetik dan diubahsuai dari akhbar Pikiran Rakyat, 23 Nov 2013
oleh Budi Harsanto, Dosen Manajemen & Bisnis FEB Unpad.

0 comments:

Post a Comment